Sepenggal Kisah di Pedalaman Baduy
Saya selalu menikmati sebuah perjalanan, dan beberapa
pekan yang lalu saya menuju pedalaman Baduy. Sebenarnya untuk tahun ini
perjalanan ke Baduy tidak ada dalam daftar list yang akan saya kunjungi.
Namun, entahlah. Saya juga tidak menyangka bisa sampai disana.
Suku Baduy terbilang unik dan berbeda dari lainnya.
Mereka masih menjunjung tinggi adat istiadat dan saya memberi jempol
untuk orang-orang yang masih bertahan dengan kehidupan di Baduy
khususnya Baduy Dalam.
Sebelum menuju Baduy Dalam kami diperkenalkan dengan seorang bapak-bapak bernama Mang Alim. Beliau suku Baduy asli dan kami akan bermalam di rumahnya. Mang Alim mewakili suku Baduy Asli, Suku Baduy Dalam memakai baju warna putih, memakai ikat kepala, jalan tidak memakai sandal. Mereka berbahasa sunda.
Sebelum keberangkatan menuju Baduy, Mang Alim memberikan petuah sebelum melakukan perjalanan sekitar 2 jam dari Desa (Saya lupa nama desanya) sebut aja desa itu.
“Nanti di Baduy nggak boleh ambil gambar. Kalau sudah diperbatasan menuju Baduy Dalam. Semua kamera masukkan ke dalam Tas, gak boleh foto-foto,” kira-kira begitu yang Mang Alim omongin. dalam hati saya menjerit.
Hah kenapa? Kenapa Mang Alim? Kenapa nggak boleh?
Saya rasa semua orang selalu punya aturan, begitu pula dengan orang-orang Suku Baduy, mau nggak mau kami sebagai pengunjung harus mengikuti aturan mereka. Kalau nggak suka? mending pulang aja.
Perjalanan kami sekitar 2 Jam ke Baduy dalam, tanpa kendaraan. 2 jam bisa dibilang tidak terlalu jauh tetapi halang rintangnya itu yang membuat saya terkagum-kagum. Naik turun, naik turun, hingga harus beberapa kali beristirahat sebelum sampai ke tempat tujuan.
Sebelum keberangkatan saya memang sudah terlebih dahulu mencari referensi tentang Baduy. Namun, ibarat kata ‘Orang desa ke kota itu norak, tapi orang kota ke desa itu lebih norak lagi’ Saya baru menemukan ada sebuah desa terpencil yang modelnya begini. Di Baduy, selain tidak boleh foto-foto semua juga dilarang mandi pakai sabun, sikat gigi pakai odol, karena hal tersebut bisa mencemarkan. Semua rumah-rumah mereka berdiri di atas batu, pintu bambu tanpa kunci, tidur dengan alas tikar seadanya, masak dengan tungku, kesehariannya tanpa listrik. Pokoknya, Sesuatu.
Dan hal yang paling emergency adalah tidak adanya kamar mandi. Segala hal yang berhubungan dengan mandi, BAB, BAK, cuci piring, ngambil air untuk masak, semua berawal dari satu tempat, Sungai. Well, bisa kebayang, kan?
Selain itu untuk kamu-kamu yang merasa bule, jangan harap bisa masuk ke Baduy, karena mereka melarang keras kalau ada orang luar yang mengunjungi Baduy. Sebenarnya saya juga termasuk blasteran sundawi alias sunda betawi dan takut nggak boleh masuk Baduy. Tapi, Alhamdulillah saya aman-aman aja karena saya bisa dibilang bule gagal. :D
Di dalam Baduy dalam, saya tidak menemukan ada sekolah. Banyak anak-anak yang bermain di sana, orang tua mereka memang melarang anak-anaknya untuk sekolah. Menurut pandangan mereka, anak-anak yang sekolah akan menjadi pintar dan orang pintar kebanyakan suka membodohi orang lain. Hm, kira-kira masuk akal nggak sih?
#Mikirkeras
Satu hal yang saya salut adalah mereka berpergian tidak menggunakan kendaraan. Saat Mang Alim cerita, ia pernah ke Jakarta tepatnya pondok indah dengan jalan kaki, nyeker pula, baru sampai kota setelah dua hari. Beliau mengatakan, bisa saja ia naik kendaraan tetapi itu sama saja dengan membohongi diri sendiri. Itu adalah aturan dan setiap aturan harus dipatuhi.
Malam hari di rumah Mang Alim, saya dan teman-teman banyak berbincang mengenai baduy. Banyak bertanya hal-hal yang menurut kami tidak masuk akal. Seperti, kenapa tidak boleh pakai listrik? kenapa tidak boleh pakai sabun, sampo, odol? kenapa tidak boleh menyalakan handphone, kamera, radio? Dari pertanyaan yang bejibun itu, sebenarnya yang saya tangkap hanya ada satu jawaban. Mereka menjunjung tinggi adat istiadat, memang suah aturannya begitu, sebagaimana amanat buyut yang saya baca, ada yang tertulis ‘Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung,’ Contoh kecilnya, rumah-rumah mereka yang dibangun sederhana, tanpa tembok beton, tanpa paku, tanpa pintu, karena jika ditambahkan hal-hal lainnya artinya sudah menyalahi kode etik perbaduyan, halah… :p
Setelah menginap satu malam di baduy dalam akhirnya pagi-pagi kami harus meninggalkan desa unik itu, menuju baduy luar, lalu ciboleger. Karena katanya perjalanan pulang lebih terjal dan berbatu, pun menghabiskan waktu lebih dari empat jaman. Jaman apa aja tuh? Dan memang benar, perjalanan pulang lebih melelahkan, nanjak mulu. ½ km jalanan nanjak terus, ½ km jalanan menurun terus. Nggak ada lurus-lurusnya ini jalan.
Maka dari itu di tengah perjalanan saya dan teman-teman meminta dicarikan kayu untuk penopang karena gak kuat nanjak, jadi malu sama Mang Alim yang udah tua tapi masih kuat berjalan. Ketika Mang Alim sibuk memotong tangkai-tangkai pohon tiba-tiba Mang Alim berteriak ke arah teman saya.
“Hei, Kamu jangan berdiri di situ,” kata Mang Alim. Spontan kami mendekat ke Mang Alim.
“Emang kenapa, Mang?”
“Itu, di situ ada pohon,” (Mang Alim menyebut nama pohon, tapi saya lupa). Kami menunggu detik-detik kelanjutan cerita Mang Alim, berharap Mang Alim memceritakan hal-hal mistis tentang pohon tersebut.
“Kenapa emang kalau berdiri di bawah pohon itu, Mang?” rasa penasaran kami semakin menggebu.
Sebelum menuju Baduy Dalam kami diperkenalkan dengan seorang bapak-bapak bernama Mang Alim. Beliau suku Baduy asli dan kami akan bermalam di rumahnya. Mang Alim mewakili suku Baduy Asli, Suku Baduy Dalam memakai baju warna putih, memakai ikat kepala, jalan tidak memakai sandal. Mereka berbahasa sunda.
Sebelum keberangkatan menuju Baduy, Mang Alim memberikan petuah sebelum melakukan perjalanan sekitar 2 jam dari Desa (Saya lupa nama desanya) sebut aja desa itu.
“Nanti di Baduy nggak boleh ambil gambar. Kalau sudah diperbatasan menuju Baduy Dalam. Semua kamera masukkan ke dalam Tas, gak boleh foto-foto,” kira-kira begitu yang Mang Alim omongin. dalam hati saya menjerit.
Hah kenapa? Kenapa Mang Alim? Kenapa nggak boleh?
Saya rasa semua orang selalu punya aturan, begitu pula dengan orang-orang Suku Baduy, mau nggak mau kami sebagai pengunjung harus mengikuti aturan mereka. Kalau nggak suka? mending pulang aja.
Perjalanan kami sekitar 2 Jam ke Baduy dalam, tanpa kendaraan. 2 jam bisa dibilang tidak terlalu jauh tetapi halang rintangnya itu yang membuat saya terkagum-kagum. Naik turun, naik turun, hingga harus beberapa kali beristirahat sebelum sampai ke tempat tujuan.
Sebelum keberangkatan saya memang sudah terlebih dahulu mencari referensi tentang Baduy. Namun, ibarat kata ‘Orang desa ke kota itu norak, tapi orang kota ke desa itu lebih norak lagi’ Saya baru menemukan ada sebuah desa terpencil yang modelnya begini. Di Baduy, selain tidak boleh foto-foto semua juga dilarang mandi pakai sabun, sikat gigi pakai odol, karena hal tersebut bisa mencemarkan. Semua rumah-rumah mereka berdiri di atas batu, pintu bambu tanpa kunci, tidur dengan alas tikar seadanya, masak dengan tungku, kesehariannya tanpa listrik. Pokoknya, Sesuatu.
Dan hal yang paling emergency adalah tidak adanya kamar mandi. Segala hal yang berhubungan dengan mandi, BAB, BAK, cuci piring, ngambil air untuk masak, semua berawal dari satu tempat, Sungai. Well, bisa kebayang, kan?
Selain itu untuk kamu-kamu yang merasa bule, jangan harap bisa masuk ke Baduy, karena mereka melarang keras kalau ada orang luar yang mengunjungi Baduy. Sebenarnya saya juga termasuk blasteran sundawi alias sunda betawi dan takut nggak boleh masuk Baduy. Tapi, Alhamdulillah saya aman-aman aja karena saya bisa dibilang bule gagal. :D
Di dalam Baduy dalam, saya tidak menemukan ada sekolah. Banyak anak-anak yang bermain di sana, orang tua mereka memang melarang anak-anaknya untuk sekolah. Menurut pandangan mereka, anak-anak yang sekolah akan menjadi pintar dan orang pintar kebanyakan suka membodohi orang lain. Hm, kira-kira masuk akal nggak sih?
#Mikirkeras
Satu hal yang saya salut adalah mereka berpergian tidak menggunakan kendaraan. Saat Mang Alim cerita, ia pernah ke Jakarta tepatnya pondok indah dengan jalan kaki, nyeker pula, baru sampai kota setelah dua hari. Beliau mengatakan, bisa saja ia naik kendaraan tetapi itu sama saja dengan membohongi diri sendiri. Itu adalah aturan dan setiap aturan harus dipatuhi.
Malam hari di rumah Mang Alim, saya dan teman-teman banyak berbincang mengenai baduy. Banyak bertanya hal-hal yang menurut kami tidak masuk akal. Seperti, kenapa tidak boleh pakai listrik? kenapa tidak boleh pakai sabun, sampo, odol? kenapa tidak boleh menyalakan handphone, kamera, radio? Dari pertanyaan yang bejibun itu, sebenarnya yang saya tangkap hanya ada satu jawaban. Mereka menjunjung tinggi adat istiadat, memang suah aturannya begitu, sebagaimana amanat buyut yang saya baca, ada yang tertulis ‘Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung,’ Contoh kecilnya, rumah-rumah mereka yang dibangun sederhana, tanpa tembok beton, tanpa paku, tanpa pintu, karena jika ditambahkan hal-hal lainnya artinya sudah menyalahi kode etik perbaduyan, halah… :p
Setelah menginap satu malam di baduy dalam akhirnya pagi-pagi kami harus meninggalkan desa unik itu, menuju baduy luar, lalu ciboleger. Karena katanya perjalanan pulang lebih terjal dan berbatu, pun menghabiskan waktu lebih dari empat jaman. Jaman apa aja tuh? Dan memang benar, perjalanan pulang lebih melelahkan, nanjak mulu. ½ km jalanan nanjak terus, ½ km jalanan menurun terus. Nggak ada lurus-lurusnya ini jalan.
Maka dari itu di tengah perjalanan saya dan teman-teman meminta dicarikan kayu untuk penopang karena gak kuat nanjak, jadi malu sama Mang Alim yang udah tua tapi masih kuat berjalan. Ketika Mang Alim sibuk memotong tangkai-tangkai pohon tiba-tiba Mang Alim berteriak ke arah teman saya.
“Hei, Kamu jangan berdiri di situ,” kata Mang Alim. Spontan kami mendekat ke Mang Alim.
“Emang kenapa, Mang?”
“Itu, di situ ada pohon,” (Mang Alim menyebut nama pohon, tapi saya lupa). Kami menunggu detik-detik kelanjutan cerita Mang Alim, berharap Mang Alim memceritakan hal-hal mistis tentang pohon tersebut.
“Kenapa emang kalau berdiri di bawah pohon itu, Mang?” rasa penasaran kami semakin menggebu.
“Nanti takut rubuh.”
#Gubraaaaaaaaaak
Kirain apaan. Mang Alim bisa ngelawak juga ternyata. Tetapi bener juga sih. :D
Meskipun begitu orang-orang Baduy itu ramah-tamah dengan orang pribumi, entah tutur katanya, sifat sopan santunnya, mereka menghormati tamu yang datang dan siap menjamunya sebaik mungkin. Jadi terharu…
Perjalanan ke Baduy memberikan kesan tersendiri untuk saya. Indahnya sebuah perjalanan memang hanya diri sendiri yang bisa mengukurnya, karena kita sendirilah yang menikmatinya. Suatu saat kalian bisa coba kesana dan rasakan sensasinya.
#Gubraaaaaaaaaak
Kirain apaan. Mang Alim bisa ngelawak juga ternyata. Tetapi bener juga sih. :D
Meskipun begitu orang-orang Baduy itu ramah-tamah dengan orang pribumi, entah tutur katanya, sifat sopan santunnya, mereka menghormati tamu yang datang dan siap menjamunya sebaik mungkin. Jadi terharu…
Perjalanan ke Baduy memberikan kesan tersendiri untuk saya. Indahnya sebuah perjalanan memang hanya diri sendiri yang bisa mengukurnya, karena kita sendirilah yang menikmatinya. Suatu saat kalian bisa coba kesana dan rasakan sensasinya.
Terima kasih cerita serunya :D mohon doakan saya ya, minggu ini saya berangkat ke sana, semoga bertemu apa yang saya cari. Atau kalau belum, semoga ada petunjuk baru dari-Nya dan darinya... hehe :)
BalasHapusIya sama-sama mbak, makasih juga udah mampir di blog saya... semoga menemukan apa yang di cari... have fun ya... :)
Hapussaya kira ini suku kalimantan eh pas baca bahasanya sunda. ternyata di jawa ya. itu pemikiran di sana kebanyakan masih primitif ya. kalau soal sabun atau odol mungkin masuk akal ya takut mencemari dan itu bisa di ganti sama bahan alami yang lain gayak dari arang atau apa gitu
BalasHapusnah tapi yang sekolah itu.
padahal bagus kalau bisa pinter. bisa lebih memajukannya kan.
bukan mas, ini daerah banten tepatnya di rangkas bitung... nah itu dia yang miris banget...
Hapusbanten ya
Hapusiya itu. padahal bagus kalau pinter. bisa aja kan membantu cara bertani, ladang dan lain-lainnya agar hsilnya jadi lebih efesien dan banyak hasilnya
Entahlah... beda kepala beda pemikiran... :)
Hapuswah seru juga bacanya
BalasHapusterimakasih...
Hapuswah kental banget adatnya dsna yaa. Apa msyarakt dsna ada yg ngelanggar adatny sndri mbk? kalau ada sangsi apa yg diberikan? apa mreka gk mrasa tertinggal?
BalasHapusgk kbayang klo dsna g mndi tnpa sabun-sampo, trus jg g bsa selfie-selfie duuh :')
haha, aku jga blasteran mbak, blasteran gagal jugaaa :p
biasanya kalo ada yang melanggar itu harus keluar dari desanya dan gak dianggak sebagai warga badui dalam. Mereka disidang dulu sih. tapi kalo terjadi pernikahan antara baduy dalam dan luar mereka harus milih mau jadi warga badui dalam atau badui luar...
Hapusseru sih disana pemandangannya juga indah, masih asri banget... cuma yaa gak ngerti juga sih kenapa moto moto ga diperbolehkan..
ini yang harus dijunjung tinggi oleh bangsa indonesia... keren ya ternyata suku pedalaman baduy itu... semuanya serba alami... ga ada polusi, bahkan orang asing aja ga boleh masuk... semuanya serba alami, ga ada listrik, ga ada pencemaran dll. Orang baduy ternyata sangat ramah ya... baru tau aku... jalan2 yg menyenangkan, mudah2an aku juga bisa kesana suatu saat nanti :)
BalasHapusIya... sebenernya ada banyak suku terpencil di indonesia ini, juga sangat kental adat istiadatnya. penerimaan buat tamu yang datang juga beda-beda...
HapusWah, keren.. sudah jaman semodern gini masih sanggup memegang adat istiadat dan tidak menggunakan listrik pula..
BalasHapusGak tau apa jadinya kalo suatu saat harus tinggal disana.. betah gak ya... :-)
hehehe... enak kok suasana disana... tapi kalo buat tinggal disana kayaknya gue juga gak sanggup deh.. hehehe... tiada hari tanpa gadget sih...
Hapusselain menjunjung tinggi dat kayaknya suku baduy juga menjunjung kejujuran.
BalasHapustelrlihat dari ceritanya mang alim yang ke Jakarta dua hari dengan berjalan kaki sambil nyeker. gak kebayang kalau itu terjadi denganku bisa-bisa mati ditengah jalan
Iyaaa... sepertinya begitu.. cuma sekarang suku baduy dalam ada juga yang pindah ke baduy luar, mungkin kalo diliat di baduy luar lebih bebas, udah ada kamar mandi dan listrik, udah berbaur deh sama orang di sekitar, cuma masih pake baju adatnya.
HapusBaduy, pernah denger kayaknya di tipi. Ehh, perjalanannya seru banget kayak my trip my adventure lho~
BalasHapusIyaa... pernah ada undangan juga di TV, dan mereka datang ke stasiun TV jalan kaki loh... thx bro...
HapusPernah ke Baduy waktu SMA. Waktu itu jalannya agak becek karena hujan =(
BalasHapusHAhaha datang lagi bro.. gue malah kesana pas musim kemarau.. panas gilaaa...
HapusWah, betul tuh, temanku ketemu orang Baduy dan dia menolak untuk difoto :)
BalasHapusYaudah poto sama saya ajaaa... :D
Hapuswah sayang banget gak boleh foto foto, tapi rada gimana gitu yah kalo mereka BAB, BAK, nyuci piring, mandi, di satu tempat, bukannya kurang baik yah buat kesehatan, terus juga alasan mereka gak menyekolahkan anak mereka tuh alasan yang sangat disangkan banget padahal mba,,,,"kalo pinter nanti suak membodohi orang lain" tapi kan kalo gak (maaf) pinter, kan nantinya kita yang dibodohi org lain
BalasHapushehehe kan kalo sungai mengalir, jadi kotorannya ke bawa arus.. gitu kali... hahaha... tapi ga enak banget tempatnya terbuka begitu...
HapusNah... gak ngerti juga deh saya...
dulu gak jadi kesana gara2 cewe cewenya takut betis nya gede ,, maklumlah orang berada semua :D
BalasHapusAjak temen yang lainlah bro... yang lebih strong... :D
HapusSuku baduy.. Kirain aku ada di Kalimantan.. Trnyata Banten.. Yg di Kalimantan mah dayak deng.. Wkwk. Gimana sih yak? Org Indonesia malah gatau :'(
BalasHapus"org desa yg dteng ke Kota itu norak. Tp org kota yg dateng ke desa lebih norak lagi" boleh jg nih quotenya! Bener bangettt! Haha.
Nginepnya cuma sehari? Alhamdulillah.. Untung bkan seminggu.. Kebayang kalo mau pipis tengah malem aja sih.. Atau BAB gtu..
Kalo di desa emg gtu ya? Buat mandi, nyuci piring, BAB, BAK.. Pake air sungai yg sama :') Oh nooo!!
Moto2 gak boleh2? Eh trs itu foto rmh adatnya dpt drmna ??
Kalo yg gaboleh pake odol, sabun, msh setuju deh, krna mngurangi pencemaran lingkungan.. Tp kalo gak boleh sekolah dgn alesan yg gtu kyaknya gak banget dehh...
Ini poto baduy luar bukan baduy dalam... cuma gambaran rumah mereka mirip miriplah kaya yang dipoto...
Hapusentahlah...
Haduh... iri banget, seru banget kisahnya... pengen banget kesana mengenal budayanya dan merasakan keberadaannya pasti rasanya tuh sesuatu banget -_-
BalasHapusAyo bro kesana... orang orangnya raman dan baik kok asal kita bisa ngikutin peraturan mereka...
HapusOrang Baduy mah gitu teh saya kebetulan orang Banten kalo saya gak pake sendal kmna-mana saya dikatain kanekes alias baduy sama bapak hahahaha...
BalasHapusMereka memang masih menjunjung tinggi nilai budaya. Tapi mreka sprtinya menutup diri dari kemajuan padahal bnyak yg positif yg bisa diambil hehe
Wah pistingan ini bikin kangen kampung halaman
Lah kamu orang banten toh... orang baduy juga jangan-jangan.. hehehe...
HapusIya, tapi itu uniknya orang baduy itu, apalagi bisa bertahan dalam kondisi kayak gitu...
Suku Baduy.
BalasHapusMengisolasi dirinya sendiri.
Menghindar dari hiruk pikuk dunia modern.
Demi berbagi dengan alam :)
Kelak, suatu hari nanti, pedalaman Baduy menjadi destinasi petualangan saya :)
Silahkan datang dan nikmati... :)
Hapuskata nya ga boleh foto . itu ada foto dapat dari mana ?
BalasHapusIni foto baduy luar bukan baduy dalam..
HapusSoal sekolah,, banyak koruptor itu karna mereka pintar,dan sekolah tinggi.
BalasHapusSoal sekolah,, banyak koruptor itu karna mereka pintar,dan sekolah tinggi.
BalasHapusmenarik banget infonya. makasih kak
BalasHapusOpen Trip Kawah Ijen