Rotan Tak Bertuah

            Tidak sengaja saya bertemu dengan teman SD saya di perjalanan kemarin pagi, sempat ngobrol-ngobrol sebentar lalu dan mengulang kembali ke masa-masa zaman SD dulu. Saya jadi teringat dengan sosok guru kesayangan saya, Pak Abdullah namanya. Yang sosoknya sudah menghilang, entah ada di mana sekarang. Teman saya sempat begidik mendengar nama Pak Abdullah.

            “Hah Pak Abdullah? guru yang galak itu? wali kelas kita waktu kelas 4 itu, kan?” tanyanya, saya mengangguk mengiyakan, emang Pak Abdullah yang mana lagi?

            Dulu sosok Pak Abdullah begitu menyeramkan di mata teman-teman sekelas, selalu membawa rotan kemana-mana. Bahkan memberi nama rotan yang selalu dibawa itu “Rotan Tak Bertuah”

Tidak jarang kami sekelas hampir kena pukulan rotannya setiap hari, entah di kepala atau di tangan. Tapi saya suka, karena pukulan rotannya bikin saya pintar dalam seketika, ajaib! Saya dulu paling bodoh pelajaran matematika, Namun, ketika belajar dengan Pak Abdullah saya jadi mengerti. Dan lebih bersemangat belajar. Sampai saya tidak menyangka saat kenaikan kelas saya mendapat peringkat ke 3 dari tiga orang siswa, wkwk… soalnya sejak masuk SD saya mentok di peringkat tujuh atau Sembilan tapi pernah dapat peringkat lima juga sih, sekali. Aneh ya, ganjil-ganjil semua.

            Pak Abdullah sosok yang sederhana menurut saya, tegas bukan galak. Meskipun saya juga sering terkena pukulan rotan tak bertuahnya.

            “Yang tidak bisa jawab, nanti bapak gantung di pohon cabe,” kata-kata Pak Abdullah yang masih tersimpan di memori otak saya. Mendengar itu semua teman-teman ketakutan dan berusaha mengerjakan soal, sedang pak Abdullah tersenyum, lalu berkata.

            “Kalau di gantung di pohon cabe yang mati orangnya atau pohon cabenya?”

            “Orangnya, Pak…” jawab teman-teman serentak, ya saya juga jawab gitu. Namanya juga anak-anak. (ngeles)

            Gara-gara hal itu satu kelas merasakan rotan tak bertuahnya. Pak Abdullah juga sosok guru yang senang bercerita, beliau sering menceritakan kisah-kisahnya bersama murid-muridnya yang dulu, tentang sejarah, atau apa saja menggunakan logat bicaranya yang khas, Bima.

            Sempat sebal dengan Pak Abdullah, pernah teman-teman sekelas menyembunyikan Rotan tak bertuah Pak Abdullah. Hari itu pak Abdullah masuk kelas dan tidak menemukan Rotannya. Akhirnya Pak Abdullah membawa kemoceng dari lemari dan membawanya keluar kelas. Dan kami semua tidak menyangka bahwa ketika Pak Abdullah kembali masuk kelas kemoceng yang tadi dibawa sudah botak, yang terlihat hanya batang rotannya sedangkan bulu-bulu ayamnya sudah dicopot. Cerdas, Pak Abdullah memiliki rotan tak bertuah yang baru. Teman-teman sekelas lemas dengan kenyataan ini. Tidaaaaak…

            Satu hal yang masih saya ingat saat upacara bendera, kebetulan Pak Abdullah menjadi Pembina Upacara. dan di sekolah saya dulu kalau sedang mengheningkan cipta/berdoa. Biasa di iringin dengan pianika dan suling yang dimainkan anak-anak paduan suara. Namun waktu itu Pak Abdullah tidak setuju dan memberhentikan anak-anak yang bermain suling atau pianika. Kata Pak Abdullah, berdoa tidak khusyuk jika diiringi musik, berisik. Karena hal itu Pak Abdullah banyak dikritik guru-guru yang lain tapi Pak Abdullah tetap pada pendiriannya.

            Saat kenaikan kelas lima Pak Abdullah pensiun dan otomatis tidak bisa bertemu dengannya lagi. Dan saya kembali pada sediakala, bodoh lagi… wkwkwk… 

            Ah saya tiba-tiba rindu rotan tak bertuahnya. Hari ini tepat hari jadinya sekarang. Berapa ya sekarang usianya? sepertinya tujuh puluhan lebih, saya lupa. Bagaimana kabarnya sekarang pun saya tidak tahu.

            Sejak perpisahan dengan Pak Abdullah saya sempat menangis dan saya sering meneleponnya sekadar minta di doakan saat ujian nasional.

            “Pak, doain ya biar saya lulus.” Hanya sesingkat itu pembicaraan saya dengannya.

            Sampai zaman SMP saya masih sering menelponnya bahkan masih mengingat nomor teleponnya sampai sekarang. Hanya saja sekarang beliau sudah menghilang, tidak bisa dihubungi lagi nomornya. Bisa jadi Pak Abdullah sudah tidak ingat lagi dengan muridnya yang bandel ini.. :D

            Saya belajar dari kesederhanaan seorang guru, Pak Abdullah. Setiap guru selalu istimewa dalam setiap tingkah lakunya. begitu pula dengan Pak Abdullah, tiada guru sepertinya (lagi).
Bagaimana dengan guru favoritmu?


Chemity, 2 Maret 2012

Komentar

Posting Komentar

Terima kasih sudah singgah. Silakan berkomentar :)

Postingan populer dari blog ini

TRAGEDI LEMBAH HIJAU

Apapun Selain Hujan (Review Buku)

Lima Pencapaian yang Terjadi di 2017