Menjadi Mata Untukmu
“Kak, apa yang ada di pikiran
lu saat pertama kali bertemu dengan orang kayak gw?”
Tiba-tiba ada pesan masuk
isinya begitu, saya musti jawab apa ya? Ngomong-ngomong teman saya itu tuna
netra, entah dia kesambet apa tiba-tiba nanya begitu.
Saya jadi ingat pertama kali
bertemu dengan teman-teman istimewa, khususnya mereka yang tuna netra, kayaknya
yang saya lakukan saat itu cuma mengamati dari kejauhan. Saya masih mikir
gimana cara berinteraksi dengan mereka, saya takut kalau saya salah ucap nanti
malah menyakiti hati mereka, maka dari itu butuh waktu yang agak lama untuk
bisa akrab dengan mereka.
Pertama kali saya berkenalan dengan seorang anak bernama Senna, seorang tunet yang punya minat di menulis.
Dia masih sekolah SMA ketika itu, kami belajar bersama di FLP Ciputat.
Saya mikir keras, ini anak gimana cara nulisnya yaa? Emangnya dia
bisa tahu keyboard itu letak abjadnya ada di mana? Saya aja sering banget
typo.
Suatu saat Senna
mengajari saya gimana caranya dia bisa menulis, eh ternyata laptopnya bisa
ngomong. Maksudnya tulisan yang sudah diketik Senna akan mengeluarkan suara,
jadi dia tau kalau ada kesalahan dalam tulisannya. Saya cuma manggut-manggut.
Sungguh betapa ribetnya.
Sungguh betapa ribetnya.
Begitu juga saat ia memainkan
ponselnya, terkadang saya tersenyum melihatnya, betapa seringnya kita menatap
layar ponsel, tetapi teman saya itu tidak bisa menatap secara langsung, hanya
modal pendengaran dan gerakan jemarinya. Meski begitu Senna juga punya banyak
prestasi, ia sering menang lomba menulis dengan segala keterbatasannya.
Jalan-jalan ke Kota Tua |
Hidup
Menembus Batas
Dari mereka saya belajar bahwa
kita bisa menembus batas. Kita bisa melawan segala kekurangan itu dengan
prestasi dan kreativitas. Lewat Senna saya berkenalan dengan teman-teman
tuna netra lainnya, mulai dari Oki dan Rifki. Mereka semua mahir bermain musik,
Senna jago bermain flute, oki gitar, dan Rifki biola.
Latihan musik sebelum pentas |
Suatu saat kami pernah manggung
bersama saat diundang menampilkan teatrikal novel tentang Hasan Al-Banna
di Gramedia Matraman. Ditemani juga teman-teman saya lainnya, kak Lina, Lisfa, ka Yudis, ka Amel. Sementara Senna, Oki, dan
Rifki, mereka bertiga bermain insrumen musik.
Sebelum tampil teater |
Nah ini yang namanya Senna |
Selesai pentas saat kegiatan di Gramedia Matraman |
Terkadang saya berpikir,
bagaimana seandainya dunia ini gelap? Mati lampu aja saya nggak betah, nggak
berani, tetapi bagaimana mereka bisa hidup tanpa cahaya? Mereka pasti
kesulitan melakukan banyak hal. Namun akhirnya saya percaya bahwa mereka mampu
menembus batas.
Saya tahu mereka terkadang jauh
lebih peka dibanding saya, dan hebatnya saya tidak pernah sekalipun mendengar
mereka mengeluh dengan kehidupan yang mereka jalani, mereka selalu tertawa,
selalu berpikir positif, dan mereka juga punya mimpi.
Mereka mungkin berbeda, tetapi
jangan salah mereka juga bisa melakukan aktivitas seperti orang-orang pada
umumnya, mereka juga bisa bekerja. Mereka
juga senang saat diajak nonton bioskop. Suatu saat saya dan Lisfa
mengajak Senna untuk nonton bioskop, sedikit tentang Senna, dia termasuk tuna netra
total artinya tidak bisa melihat hal apapun. Coba bayangin gimana dia bisa
nonton bioskop?
Pengalaman itu seruu
sekali, untunglah saat itu nonton film berbahasa indonesia kalo bahasa
inggris saya nggak tahu apa yang akan terjadi.. wkwk mungkin sepanjang
film itu saya baca subtitlenya. Sepanjang film diputar saya dan Lisfa bercerita
secara bergantian, apa yang sedang dilakukan si tokoh, seakan kami adalah mata baginya.
Sebenarnya saya sendiri tidak
tahu apa yang ada dibayangan Senna saat kami bercerita, walaupun kadang berisik
juga sih dilihat orang-orang yang lagi menikmati film, untung gak ada yang
protes. Hehehe... Terakhir saya ketemu Senna adalah bulan puasa lalu,
ngomong-ngomong sekarang dia lagi sibuk belajar dan menghafal Al-Quran dan dia
sudah hafal 2 Juz. Entah mengapa melihat mereka saya jadi malu dengan
diri saya sendiri.
Nah berbeda dengan Rifki,
dia termasuk tuna netra low vision meski masih bisa melihat tetapi
penglihatannya lemah. Meski begitu dia jago banget main biola, bersama Rifki
juga kami pernah berpetualang bahkan naik gunung bareng.
Mereka adalah sekolah bagi
saya, mengenal mereka membuat saya semakin bersyukur, saya
senang pernah menjadi mata bagi mereka meskipun hanya sebentar.
Menjelaskan apa yang saya lihat, betapa indahnya segala hal yang ada di
sekitar saya, meski saya tidak bisa menjelaskan warna biru itu seperti
apa? Warna putih seperti apa? Saya yakin hati kalian jauh lebih indah dari pada
apa yang saya lihat.
Saat kami bermain teater dadakan di Kota Tua |
Terima kasih sudah mau
berteman dengan manusia seperti saya dan terima kasih juga untuk kalian yang sudah baca :)
Salam,
Erny Binsa
Keren, bisa jadi inspirasi nih. Walaupun punya kekutangan, tidak menjadikan itu sebagai halangan. Semangat~
BalasHapuskekurangan apa kekutangan, Bang? :p
HapusAihhh ... sometimes keindahan hidup datang dari teman teman seperti mereka ya mba. Sering juga, malah membuat kita merasa perlu banyak banyak bersyukur dengan apa apa yang kita miliki.
BalasHapusSalam untuk Senna dan kawan kawannya ya mba.
Betul sekali mbak,
HapusInsyaAllah kalau ketemu yaa... hehehe
Subhanallah inspiratif banget
BalasHapusTerima kasih, kak... :)
Hapussaya juga baru-baru ini ketemu dengan orang semacam itu sangat inspiratif, kami bertemu saat Kopdar Harian Surya, beliau penulis yang pandai menentukan gaya tulisan.
BalasHapusanggiputridot.com
Terkadang orang-orang seperti mereka memang tidak terduga kak... :)
HapusWalaupun penuh keterbatasan ternyata mereka justru lebih hebat dari gue ya.. Bisa main alat musik, bisa nulis sampe menang event, bahkan paling keren bisa hafal sampe dua juz.. Kok keren siih..
BalasHapusMereka semua bisa jadi motivasi buat gue dan yang lain, yang intinya semua bisa kita lakukan kalo kita mau berusaha.
Iyaa bang, gue juga bingung sih... Intinya sih kerja keras mereka jauh lebih besar..
HapusBetul!
MAshaAlloh Senna dan teman teman lainnya keren sekali ya, malah dengan keterbatasan yang mereka punya pun mereka masih bisa menjadi seorang penulis lo..khan keren bangetttt...tak mengenal putus asa. Mbak Erny dan teman lainnya juga keren banget bisa support mereka untuk terus berkarya bahkan main theater bareng...mana nonton bioskop bareng juga...aku nggak bisa bayangin gimana capeknya ceritain film sepanjang film berlangsung..hihihi..good job lah mba Erny :D
BalasHapusAlhamdulillah, terima kasih Mey... Memang aku banyak belajar dari mereka.
HapusAlhamdulillah punya kesempatan berteman dengan mereka Mbak, semoga bisa saling menyemangati buat karya-karya selanjutnya. Makasih ceritanya Mbak..Saya follow blognya yaaa:)
BalasHapusTerima kasih sudah mampir mbak Dian, InsyaAllah nanti saya mampir juga ke blognya yaaa... ^^
HapusSetelah dipikir2... Mereka lbih punya banyak kecakapan dibanding saya :D. MasyaAllah. Luar biasa.
BalasHapussumpah ini keren banget. tuna netra kayak gitu tapi bisa berperestasi, jago main musik, suka nulis dan dapet juara, sampe bisa hafal 2 juz Quran. masyaallah. salut bangt gue.
BalasHapusgue merasa tersentuh dengan kepdulian lo dengan mereka. kehadiran lo pasti ngasih mereka semangat dan merasa diperhatiin. apalagi same lo ngajakin mereka nonton bioskop, ceritain ke mereka gimana jalan cerita filmnya sambil nonton. gue tersentuh. kalo cwek mungkkin gue uah nangis nich.
HAhahaha... Coba nangis aja, gue cewek tapi gue nggak nangis tuh! :p
HapusKeren! Gue aja menang lomba cuma sekali atau 2 kali doang deh. Lah ini dengan dengan keterbatasan sering lomba.
BalasHapusYa, dimana ada kekurangan, disitu juga pasti ada kelebihan. Itu sih yg gue percaya. Dan mereka, mampu menembus batas. Salut dan keren.
Gue pun berpikir, betapa ribetnya dia ngetik di laptop tuuuhh...
HapusMakasih bang!
Setelah dipikir2 lbih dalam lg... Apalah artinya masalah2 yg sy hadapi ya, mereka yg punya keterbatasan saja bisa survive, berkarya, berprestaso, dan tetap bersyukur
BalasHapusSetuju mbak, bukannya kita yang diberikan kesempurnaan harusnya bisa lebih banyak belajar dari mereka... :)
Hapus